1. Tinjauan Historis
Berkembangnya suatu wilayah menjadi perkotaan dicirikan dengan tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat. Sejarah menunjukkan bahwa terbentuknya sebuah kota berikut faktor pendorong arus urbanisasi ke perkotaan berbeda-beda pada setiap zamannya. Berkembangnya suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan mendorong terbentuknya perkotaan. Pada era revolusi industri di abad ke-18, pertumbuhan pabrik-pabrik industri menjadi faktor pendorong urbanisasi dan berkembangnya wilayah menjadi perkotaan. Sementara itu di era globalisasi (abad 20), kondisi perkotaan yang memiliki akses, fasilitas, dan taraf hidup yang lebih baik menjadi faktor pendorong perpindahan masyarakat ke kota. Dinamika pertumbuhan perkotaan tidak hanya mendorong arus urbanisasi, namun telah menstimulus gereja sepanjang zaman untuk untuk berperan dan ambil bagian dalam mendorong perkembangan kota. Dalam laporan Bank Dunia, Indonesia Economic Querterly: Urbanization for All pada bulan September 2018 disebutkan bahwa laju urbanisasi Indonesia berkembang sangat cepat pada 1970-2000, kemudian menjadi normal pada tahun 2000an. Saat ini sudah 55 persen penduduk tinggal di daerah perkotaan. Jumlah dan proporsinya akan terus bertambah karena kawasan perkotaan memberi banyak peluang lapangan kerja kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup. Faktor utama penyebab urbanisasi bukanlah migrasi dari desa ke kota melainkan perubahan karakter wilayah dari desa menjadi kota (reklasifikasi Badan Pusat Statistik dari rural menjadi urban). Artinya, urbanisasi terjadi karenaperkembangan kota yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan perluberan kota
2. Tinjauan Sosiologis
Urbanisasi selain menambah jumlah individu secara fisik, juga meningkatkan heterogenitas nonfisik dalam wilayah perkotaan, seperti: budaya, hukum, gaya hidup, bahasa, perilaku, cara pikir/pandang, termasuk karakter. Menyempitnya ruang di area perkotaan memang mendekatkan kontak fisik, tapi tidak kontak sosialnya. Persaingan dalam perebutan ruang (lahan, pekerjaan, konsumsi, rekreasi) mengarah ke kompetisi ekonomi. Hetegorenitas perkotaan memunculkan lahirnya kelompok-kelompok eksklusif yang mempersulit jalinan relasi, disebabkan kemampuan ekonomi lebih diutamakan daripada jalinan relasi sosial antar individu dan kelompok. Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Paulus Wirutomo, mengatakan bahwa salah satu solusi strategis untuk meminimalir terjadinya eksklusifisme masyarakat perkotaan di Indonesia adalah dengan melakukan pendekatan dan kegiatan yang mengedepankan inklusifisme.
3. Tinjauan Teologis
Alkitab menguraikan bahwa kota tidak hanya sebagai tempat kejahatan dan pemberontakan, tetapi juga tempat yang penting dan strategis. Kota yang dihukum, juga diperhatikan Tuhan (contoh Niniwe). Dalam Perjanjian Lama, sebagian besar nabi dan pemimpin agama Yahudi tinggal dan melayani di kota. Selain mengajar dan berkotbah, mereka juga melayani orang sakit (I Raja 17, 2 Raja 4:18-37); berkonfrontasi dengan raja- raja tentang keadilan (2 Taw 18, 1 Raj 22); mendistribusikan bantuan kesejahteraan (2 Taw 31:15), dan lain sebagainya. Status Nehemiah, Ester, Ezra sebagai buangan tidak menghalangi mereka membangun kota dan memperjuangkan keadilan sosial di Babel. Di dalam perjanjian baru, Tuhan Yesus melayani dari desa ke desa dan dari kota ke kota. Yesus mengajar, menyembuhkan, dan memberikan keadilan kepada yang tertindas; dan satu momen, Yesus menangisi kota Yerusalem. Akibat penganiayaan terhadap gereja, para murid berpindah dari kota ke kota lain sekaligus menyebarkan injil. Sebagian besar surat pengembalaan Rasul Paulus dialamatkan kepada gereja di kota-kota besar. Paulus bahkan mengubah peraturan perbudakan dalam kitab Filemon. Dalam kitab Ibrani, umat Tuhan tidak hanya ditantang untuk setia dalam iman tetapi juga hidup menyaksikan iman dan berdampingan dengan masyarakat majemuk. Konteks perkotaan merupakan bagian dari penciptaan Allah yang dirusak oleh dosa. Allah bermaksud menebus kota dan memerintahkan umat-Nya untuk terlibat dalam upaya menyejahterakan kota. Untuk melakukan perannya di kota, gereja perlu memahami natur kota dan cara yang tepat dalam melakukan pelayanan yang menyeluruh di tengah kota. Setiap zaman, Allah memanggil dan memerintahkan gereja-Nya untuk ikut terlibat dalam penyelesaian permasalahan di manapun gereja berada, termasuk di perkotaan.